Aku tertidur dengan air mata yang
bersimbah. Perih sekali. Memang bukan
Aris seorang yang menghinaku dengan
ucapan-ucapan seperti itu. Banci ...
“Kok, sudah tidur lagi? Mentang-
mentang liburan, ya?” Aris sudah
berada di belakang punggungku. Aku
segera menghapus air mataku.
Terlambat! Aris sudah melihatnya ...
“Kamu mendengar obrolanku dengan
bapakku, ya?” tanyanya khawatir.
“Aku punya kuping!” ketusku. Judes
sekali. Banci!
“Memangnya kamu mengerti bahasa
Jawa?” tanyanya lagi.
“Tri Sugihantoro itu bukan orang
Batak!” sungutku. Aris tersenyum.
Sialan!
“Oooh, jadi kamu orang Jawa toh...”
godanya.
“Aku lahir di Jawa!” aku melotot
padanya.
“Aku juga ...” Hhhh ... “... berarti kita
sama, dong!” Aris tertawa. Renyah
sekali. Aku kesal sekali. Kubalikkan lagi
badanku. Aku ingin tidur saja!
“Tri Sugihantoro! Ajak Aris Irawan
berjalan-jalan, dong! Aku sudah tidak
sabar, nih, mau lebih mengenali kota
Jakarta, ibukota yang katanya lebih
kejam daripada ibu tiri ini..” Hampir aku
tertawa mendengar gaya bercandanya
yang sekaligus memperkenalkan
dirinya itu. Aris Irawan! Harusnya
ditambah menjadi ... Aris Irawan Si
Tampan!
“Aku tidak pernah berjalan-jalan.
Aktivitasku cuma rumah dan sekolah!”
elakku.
“Ya, sudah! Ajak aku ke sekolahmu,
dong! Biar tidak kaget nanti masuk ke
sana ...” bujuknya. Dia memang akan
dimasukkan bapak ke sekolahku.
“Sekarang itu sedang libur! Masih tutup
kali ...” tegasku.
“Aku cuma ingin tahu jalannya saja ...
Mau, ya Ro?!” Aku bangkit dengan
malas. Mungkin lebih baik pergi
daripada tidur. Selama liburan aku
jenuh sekali.
“Nah, begitu, dong! Tamu memang
harus diberikan pelayanan ekstra ...”
kata Aris senang. Tadi pagi sudah!
Pekikku dalam hati. Refleks kuarahkan
pandanganku ke selangkangan remaja
kekar itu.
“Sudah, dong! Jangan dibegitukan lagi,
ya? Nanti aku marah ...” ancamnya
halus. Ternyata berasa juga tuh,
anak ...
Akhirnya kami memohon izin kepada
Paman Arjo untuk melihat-lihat
sekolah. Lelaki baik itu benar-benar
berjiwa petani. Ia sedang merapihkan
tanaman di depan rumah yang
memang tidak ada yang merawat.
Kami berjalan bersisian. Bangga
rasanya. Aku yang biasanya sendiri kini
berjalan di samping seorang pria
tampan dan gagah. Pria itu saudaraku,
lagi. Aku mati-matian mengimbangi
gaya berjalannya yang tegap itu.
Yah ... jangan sampai terlihat begitu
kontras. Seorang pria gagah berjalan
dengan banci kalengan. Apa kata
dunia?
Di sekolah ternyata sudah berlangsung
beberapa aktivitas. Persiapan
penerimaan siswa baru (PSB) dan
masa orientasi siswa baru (MOS).
Penerimaan siswa baru dilakukan oleh
para guru. Sebagian pengurus OSIS
yang di antaranya juga teman
sekelasku di kelas satu sedang
mempersiapkan acara MOS.
“Toro! Itu siapa?” Selly, teman
sekelasku yang paling cantik ... juga
genit. Tidak biasanya ia menegurku.
Hmmmm ... pasti ada maunya. Kulirik
Aris. Ia sudah tersenyum ke Selly.
Manis sekali. Hhhh ... bete!
Aku benar-benar tidak menikmati
kunjunganku ke sekolah pada hari libur
itu. Setelah dengan terpaksa
kuperkenalkan Aris kepada Selly, ia
sudah lebur dengan teman-teman Selly
di OSIS. Ada Anom, si ketua OSIS yang
juga pernah menjadi bintang iklan
sebuah cream antijerawat. Ada Raden,
wakil ketua yang putih tinggi dan jago
basket. Ada Aini, Rosalina, dan
beberapa pengurus OSIS yang tidak
aku kenali.
Seharusnya aku tetap di sana. Namun,
entah bagaimana aku sudah terlempar
dari kumpulan itu. Aris sudah asyik
berbincang-bincang dengan mereka,
yang notabene adalah orang yang baru
ia kenal. Aku sendiri berpura-pura
membaca berbagai selebaran maupun
tempelan yang ada di mading sekolah.
Tak ada satu huruf pun yang terbaca.
Mataku berkabut! Sedih sekali ...
“Kok, kamu meninggalkan aku di sana
sih?!” suara Aris mengejutkanku. Aku
tergagap. Malu sekali ...
Untungnya Aris tidak terus
mencecarku. Aku berharap ia sudah
memahami keadaanku. Satu jam lebih
aku relakan diriku hanya mematung di
depan mading. Selama itu pula Aris
sudah tenggelam dalam keakraban
dengan beberapa teman barunya.
“Ris! Ayo, langsung gabung rapat
sekarang saja!” teriakan Raden
mengajak. Aris menarikku ke arah
ruang rapat meskipun aku berusaha
menolak.
“Aduh! Aku berterima kasih sekali, nih!
Kalian baru kenal sudah memberiku
kesempatan bergabung di MOS. Aku
rasa biar aku adaptasi dulu, ya?!” Aris
melontarkan keberatannya secara
halus. Yang lain pun akhirnya maklum.
Yah, terdaftar secara resmi saja belum
sudah dilibatkan dalam kepanitiaan
MOS. Aneh ... sinisku dalam hati.
Aku tiba-tiba ingin buang air.
Kutinggalkan Aris sebentar. Ia tidak
menyertaiku hanya memperhatikan
saja dari agak jauh. Takut kalau aku
minta diperkosa sepertinya.
“Nah, ini anaknya!!” terkejut aku
seorang murid langsung membetot
keras kerah kausku. Cagax! Nama
aslinya Teguh. Ia memegangiku.
Seorang temannya membuka celanaku
secara paksa. Aku panik setengah
mati. Mau apa mereka?
“Siapin kontol elo, Ndra!” Hendra!
Preman sekolah itu sedang mengelus-
elus kontolnya yang makin lama makin
tegang. Celanaku sudah terlepas
termasuk cd-ku.
“Panggil calon anak baru itu, Wenk!”
perintah Hendra pada anak yang
memeloroti celanaku tadi. Oooh, ini
mungkin yang namanya Zhawenk.
Coretan di tembok toilet banyak
terdapat nama ini. Zhawenk keluar.
Cagax terus memegangiku. Aku tidak
dapat berontak sama sekali. Hendra
telah mengarahkan kontolnya yang
lumayan besar ke pantatku. Jangan!
Pekikku takut. Aku belum pernah ...
“Ini anaknya!” suara Zhawenk
menunjukkan kedatangan Aris. Aku
tidak berani melihat ke arahnya. Hina
sekali keadaanku.
“Toro! Kamu kenapa?” tanyanya panik.
Namun, Zhawenk yang bertubuh tinggi
dan jago berkelahi telah
memeganginya.
“Gue cuma mau kasih peringatan buat
elo! Jangan sok kegantengan elo di sini.
Elo anak baru! Selly dan cewek-cewek
cakep di sini jatah anak-anak lama.
Kalau elo berani mendekati seorang
saja di antara mereka, siap-siap saja
elo seperti bencong ini! Hehh ...” Hendra
mendengus seraya menancapkan
dengan kasar kontolnya ke anusku.
Augh! Aku benar-benar menjerit.
“Jangan lakukan itu! Lepaskan dia!’ Aris
berupaya menghentikan tindakan
Hendra. Ia tidak bisa berbuat yang lain.
Ada tiga anak berangasan yang harus
dia hadapi. Meskipun dia jago beladiri
tetapi ketiga anak ini biangnya
tawuran.
“Saya janji tidak akan mendekati
cewek-cewek itu!” teriak Aris.
“Elo tahu risikonya kalau elo langgar
janji elo!?” ancam Zhawenk bengis.
Aris mengangguk.
“Tolong lepaskan dia ...” ujarnya lemah.
Tiba-tiba Cagax melemparkanku ke
sudut toilet dibantu dengan tendangan
di pantatku oleh Hendra yang batal
menghujamkan kembali kontolnya.
Aduhhhh ... sakit ...
“Toro!’” Aris kembali berteriak.
Bersamaan dengan itu Zhawenk
melemparnya ke arahku. Kasar dan
bengis!
Aris hampir menabrakku. Untungnya ia
menghindar sehingga tidak menambah
penderitaan fisikku. Mentalku nyaris
hancur...
Ketiga preman sekolah tadi sudah tidak
ada. Aris mendekatiku dengan cemas.
Ia benahi celanaku. Aku hanya
menangis. Ingin mati rasanya. Seorang
lelaki dijadikan sandera lelaki lainnya.
Disodomi pula! Bencong!
Aris memapahku ke luar toilet. Aku
merasakan sakit di pantatku. Bukan
cuma karena tendangan kaki Hendra.
Tendangan kontol Hendra juga sempat
menembus lubangku meski sebentar.
Sakit ... www.ceritagay.uiwap.com tak ada nikmatnya ...
Kami pulang. Aris sibuk menghiburku.
Ia juga meminta maaf karena semua
terjadi karena dirinya. Aku tidak
berbicara sama sekali. Kejadian itu
benar-benar membuatku shock. Suhu
tubuhku langsung melonjak. Panas.
Ibu, bapak, dan Paman Arjo menjadi
prihatin melihatku. Mereka menatapi
Aris bergantian. Mereka butuh
penjelasan.
“Tadi saya memaksanya
mengantarkan ke sekolah untuk
melihat-lihat... padahal ia sudah
mengeluh sakit ...”
www.ceritagay.uiwap.com